Indonesia

A.Pembahasan 1.Konteks Masalah gizi yang terjadi di Indonesia adalah masalah gizi ganda, yaitu di salah satu ada kelebihan gizi dan disisi lain masih terdapat masalah kekurangan gizi(Rachmi et al., 2018). Masalah kekurangan gizi yang masih ada di masyarakat adalah balita dengan berat badan kurang dan berat badan sangat kurang, selain stunting. Salah satu upaya yang dilakukan oleh UPTD Puskesmas Temon I adalah program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk di UPTD Puskesmas Temon I yang dijadikan program Inovatif/unggulan. Program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk di UPTD Puskesmas Temon I disusun berdasarkan kajian-kajian, besarnya masalah analisis penyebab masalah dan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan penelusuran dokumen, dasar penyusunan program terdapat pada laporan hasil kajian program, rencana ususlan kegiatan, rencana pelaksanaan kegiatan dan kerangka acuan kegiatan. Menurut (Kemenkes, 2017) pedoman manajemen puskesmas dasar penyusunan tersebut sudah sesuai. Berdasarkan hasil evaluasi konteks perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi dan buruk di UPTD Puskesmas Temon I, masalah-masalah yang melatar belakangi pelaksanaan program adalah masalah yang ada pada balita gizi kurang dan buruk. Masalah tersebut antara lain pengetahuan ibu yang kurang, keterbatasan bahan makanan, pola asuh kurang tepat, penyakit penyerta, faktor ekonomi dan lingkungan. Menurut (Unicef/ WHO/The World Bank, 2019) yang mempengaruhi status gizi balita (BB/U) adalah penyakit infeksi khususnya diare, masalah ketersediaan air minum dan jamban, sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga. Sedangkan menurut (Sartika, 2007) faktor yang mempengaruhi status gizi adalah pemanfaatan pelayanan kesehatan, penyakit ISPA, pekerjaan ibu, dan lama pemberian ASI sampai 2 tahun. Penelitian lain menunjukkan (Mazarina Devi, 2010) bahwa tingkat pendidikan ibu, jarak kelahiran, berat lahir, dan riwayat penyakit kronis merupakan faktor terjadinya malnutrisi pada balita. Tujuan program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk di UPTD Puskesmas Temon I secara umum dan khusus belum terdapat target yang terukur untuk menilai keberhasilan. Strategi yang dilakukan petugas seharusnya programer menetapkan target dan indikator yang harus dicapai. Apabila tidak ada target atau indikator yang terukur implikasinya adalah pemegang progran akan kesulitan menilai program ini berhasil atau tidak. Menurut (Dasmar et al., 2013), keberhasilan penggunaan dana bantuan operasional puskesmas pada tahap output dinilai dari terlaksananya program dan tercapainya cakupan program yang dibandingkan dengan target. Salah satu tokoh yang ahli dalam bidang evaluasi dan pedekatannya adalah Ralp W Tyler, yang berpendapat bahwa evaluasi adalah suatu proses menentukan apakah tujuan telah terealiasasi atau belum . Menurut (Ruel-Bergeron et al., 2019) sistem pemantauan dan evaluasi adalah kunci keberhasilan suatu implementasi program. 2.Masukan Sumber dana program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk di UPTD Puskesmas Temon I berasal dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) puskesmas. Penggunaan dana BOK ini mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 89 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik Bidang Kesehatan. Jumlah dan perincian dana digunakan untuk pengadaan bahan makanan, transpot petugas, transpot kader, konsumsi pertemuan. Perhitungan jumlah dana program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk di UPTD Puskesmas Temon dihitung sesuai dengan standar aturan BOK dan jumlah sasaran. Alokasi dana antara lain pengadaan bahan makanan RP 10.000,00 setiap balita per hari, transpor petugas Rp 40.000,00 setiap kegiatan, transpor kader Rp 47.000,00 setiap kegiatan. Keuntungan dari dana yang sudah terperinci dan aturan yang jelas akan memberi kemudahan dan kecepatan kepada petugas puskesmas dalam mempertanggungjawabkan keuangan karena tidak begitu rumit. Sedangkan segi negatif dari dana yang sudah terperinci dan aturan yang mengikat adalah tidak bisa menghitung dan mencukupi berapa besar biaya yang belum tersedia di lapangan. Pada kenyataan tidak ada biaya untuk pembeliaan gas/ bahan bakar, biaya sewa alat masak dan makan, biaya sabun dan air, sarana prasarana penyuluhan, biaya untuk catatan dan pelaporan. Program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk di UPTD Puskesmas Temon I adalah menggabungkan metode pemberian makanan tambahan dan kegiatan lain. Dalam pelaksanaannya dana untuk pengadaan bahan makanan merupakan biaya yang paling besar. Menurut (Handayani et al., 2008) dalam penelitian tentang pemberian makanan tambahan bahwa dana sebagian besar digunakan untuk pengadaan bahan makanan. Pada penelitian (Suharyati, 2007) menyimpulan bahwa efektifitas biaya dalam upaya penanngulangan gizi metode positif deviance lebih baik daripada motede pemberian makanan tambahan. Untuk menilai efektifitas program yang berkaitan dengan dana perlu membandingkan dengan cakupan pada produk program. Penelitian (Dasmar et al., 2013) menyimpulkan bahwa perlunya peningkatan jumlah dana pada bantuan operasional kesehatan. Alokasi biaya yang penting selain untuk bahan makanan adalah dana untuk intensif kader. Dana intensif kader dihitung berdasarkan pagu anggaran dan besarnya per orang setiap hari kegiatan. Tujuan pemberian intensif ini untuk memberikan apresiasi dan meningkatkan mutu layanan kader. Perhatian ini akan meningkatkan kinerja kader sesuai dengan penelitian (Wisnuwardani, W, 2012) yang menyimpulkan bahwa insentif uang dapat meningkatkan kinerja kader. Kekurangan Keterbatasan dana BOK mempengaruhi kecukupan dana untuk program gizi, termasuk program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk. Tidak cukupnya dana ini akan berpengaruh pada penyediaan bahan makanan, penyediaan sarana pendukung, dan pelaksanaan kegiatan. Strategi untuk mengatasi kekurangan dana adalah perlu adanya peningkatan pemberdayaan masyarakat, meningkatkan kerjasama lintas program dan sektor. Tenaga pelaksana gizi dalam melaksanakan program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk dibantu oleh programer yang ada di UKM. Tenaga pelaksana gizi yang ada sudah memiliki latar belakang pendidikan gizi yaitu D3 Gizi, tetapi jumlahnya masih kurang. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat standar kecukupan tenaga pelaksana gizi di puskesmas rawat inap adalah 2, atau didasarkan jumlah penduduk. Strategi tenaga pelaksana gizi dalam mengantisipasi keterbatasan tenaga yaitu melalui koordinasi dan melibatkan program lain untuk membantu sesuai dengan kompetensinya. Menurut (Suresh et al., 2019) menyatakan bahwa suatu intervensi gizi khususnya pada kelompok miskin akan berhasil baik jika melibatkan multi program. Hal yang sama juga dikemukakan (Abitew et al., 2020) yang menyatakan bahwa untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi akut maka perlu dilakukan integrasi program. Menurut (Sartika, 2007) untuk mengatasi masalah gizi pada anak usia di bawah lima tahun dibutuhkan kebijakan yang terfokus memulihkan pertumbuhan dan status kesehatan anak usia di bawah lima tahun dengan korelasi antara program gizi dan program lain, seperti kesehatan lingkungan dan imunisasi. Untuk memenuhi kekurangan dalam jangka panjang kepala puskesmas sudah mengusulkan pengadaan tenaga pelaksana gizi melalui dana BOK. Upaya yang dilakukan dalam jangka pendek adalah dengan memaksimal potensi tenaga yang ada dan kerja tim dalam suatu program. Buku dan catatan memiliki peranan penting dalam mendokumentasikan program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk di UPTD Puskesmas Temon I. Pencatatan dan pelaporan di tingkat puskesmas sudah dilakukkan berdasarkan ketentuan manajemen puskesmas, namun demikian perlu ada pengembangan agar lebih lengka. Sedangkan pencatatan dan pelaporan di tingkat kader belum dilakukkan secara optimal. Pencatatan sudah dilakukkan hanya untuk memenuhi catatan secara pribadi. Untuk perbaikan program dari pihak puskemasmas seharusnya membantu dalam pencatatan dan pelaporan di tingkat kader. Kendala pencatatan dan pelaporan di tingkat ibu balita adalah belum ada buku dan catatan yang baku untuk memonitoring keadaan balita. Untuk mengantisipasi ibu balita dan petugas dapat memaksimalkan buku KIA yang dimiliki balita. Pengadaan bahan makanan belum optimal karena keterbatasan dana dan belum disesuaikan kebutuhan sasaran. Bahan makanan yang dimasak direncanakan untuk memenuhi gizi seimbang yaitu memenuhi sumber energi, sumber protein hewani nabati, sumber vitamin dan mineral dari buah dan sayur. Sedangkan bahan makanan yang dibawa pulang berdasarkan ketersediaan dana, kemudahan memperoleh bahan, dan pemilihan bahan yang awet. Jenis dan jumlah bahan makanan yang akan dimasak dan dibawa pulang berdasarkan koordinasi antara kader dengan petugas gizi puskesmas. Berbeda dengan (Atoloye and Durward, 2019) yang melaporkan model intervensi yang berhasil mempengaruhi sasaran dalam motivasi belanja di toko untuk menyediakan bahan makanan di dalam rumah. Temuan menunjukkan bahwa penerima bantuan yang menganggap gizi penting ketika berbelanja bahan makanan sehingga kecukupan gizi yang jauh lebih sehat. Intervensi dilakukan dengan meningkatkan persepsi pentingnya gizi di antara peserta ketika berbelanja bahan makanan Jumlah peserta dari balita adalah 10 anak, 1 diantaranya mempunyai kelainan bawaan yaitu jantung bocor yang berstatus gizi buruk. Keadaan khusus peserta yang lain adalah terdapat peserta kembar, yang keduanya berbeda status gizinya. Kedua keaadaan ini akan mempengaruhi penanganan dan pada akhirnya juga mempengarugi hasil akhir program. Balita gizi buruk dengan komplikasi sebenarnya sudah ada tatalaksana penangannya tersendiri, untuk itu balita yang demikian sebaiknya diintervensi tersendiri. Menurut (Depkes, 2011), tentang tatalaksana gizi buruk dengan komplikasi penangannnya adalah di puskesmas rawat inap atau Treatmen Feeding Center (TFC). 3.Proses Tenaga pelaksana gizi melakukan analisa masalah, menentukan prioritas masalah dan jenis kegiatan untuk diusulkan dalam perencanaan berbentuk narasi. Perencanaan ini dikumpulkan jadi satu dengan program lain dalam bentuk Rencana Usulan Kegiatan (RUK). Untuk pelaksanaan kegiatan selanjunya petugas gizi membuat rencana pelaksanaan kegiatan berupa Kerangka Acuan Kegiatan (KAK). Proses dan tahap-tahap ini sudah sesuai dengan kebijakan yang ada, Untuk meningkatkan efisien dan efektifitas di dalam perencanaan untuk menentukan tujuan dan target yang terukur. Dalam pelaksaaan program dengan mengedepankan kerja lintas program dan lintas sektor. Sesuai dengan kebijakan penanggulangan masalah gizi baik intervensi sensitif dan spesifik (Izwardi, 2018). Sosialisasi program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk Puskesmas Temon I mempunyai peranan penting untuk kelancaran kegiatan guna mencapai tujuan program. Menurut observasi dan wawancara pada informan sosialisasi dilakukan dengan sasaran programmer UKM, karyawan puskesmas, kader posyandu, dan ibu balita. Kegiatan sosialisasi sudah dilaksanakan namum belum optimal khususnya sosialisasi kepada lintas sektor untuk mendapatkan dukungan. Sedangkan menurut (Barker et al., 2002) pentingnya perencanaan yang baik dan matang sehingga dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan. Kegiatan sosialisasi di tingkat kader bertujuan meningkatkan kualitas dan kemampuan tenaga pendukung sehingga kader paham akan tugasnya Penyuluhan di dalam program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk Puskesmas Temon I dilakukan oleh tenaga kesehatan dan kader. Materi penyuluhan antara lain, gizi seimbang, 1000 HPK, cuci tngan. Media dan metode yang digunakan dalam penyuluhan adalah bahan makanan, praktek langsung cuci tangan. Berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan adanya perubahan pengethauan dan perilaku dalam hal pola makan dan kebiasaan cuci tangan. Menurut (Karamanian et al., 2016) pelaksanaan program pendidikan gizi sangat penting di dalam intervensi. Di dalam pendidikan gizi penetapan tujuan akan meningkatkan tingkat pengetahuan, self-efficacy dan perilaku di masyarakat. Pentingnya pendidikan gizi kesehatan juga disampaikan (Gelu et al., 2018) dalam penelitiannya yang kesimpulannya bahwa kurang gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga perlu ditingkatan kesadaran medis dan anak-anak untuk meningkatkan perilaku kesehatannya. 4.Hasil Dibandingkan dengan sebelum kegiatan terdapat perbaikan status gizi dari gizi kurang menjadi baik sejumlah 1 anak, sedangkan jumlah gizi buruk tetap ada 2 anak. . Dari tabel menunjukkan bahwa 2 balita gizi buruk tidak ada perubahan dari sebelum dan sesudah program. Perubahan yang ada yaitu pada status gizi kurang menjadi status gizi baik ada 1 balita, sedangkan yang menjadi gizi buruk tidak ada. Balita gizi buruk yang tidak berubah ke gizi kurang salah satunya adalah gizi buruk dengan komplikasi. Menurut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) bahwa penangan balita gizi buruk dengan komplikasi sudah ada prosedur penanganannya. Model intervensi yang dilakukan di UPTD Puskesmas Temon I tidak efektif dan efisien untuk menangani balita gizi buruk dengan komplikasi jantung bocor. Menurut (Kementerian Kesehatan RI, 2011) dalam buku “Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk” memperjelas tentang alur penanganan gizi buruk baik yang dengan komplikasi maupun tanpa komplikasi. Program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk Puskesmas Temon I dapat meningkatkan pengetahuan ibu balita. Peningkatan pengetahuan di dapat dari kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan kader. Menurut (Ayu, 2008) pendampingan gizi meningkatkan pengetahuan gizi ibu, pola pengasuhan, dan status gizi balita KEP pada 3 bulan setelah pendampingan. Penelitian yang dilakukan oleh (Sethi et al., 2017) melaporkan bahwa penyuluhan gizi pada ibu balita, sebagian besar mengetahui tentang gizi pada anak, cara pemberian makanan dan variasi makanan, dan menjaga kebersihan dan kesehatan. Penyuluhan yang dilakukan dalam program perbaikan gizi masyarakat pada balita gizi kurang dan buruk Puskesmas Temon I juga memberikan hasil peningkatan pola makan. Pola makan yang berubah antara lain anak sebelumnya tidak maui makan nasi, sayur, sekarang sudah diberi sayuran dan makan buah. Ibu balita sudah memberi makanan yang lebih bervariasi, dan memasak sendiri. Pola makan balita berdasarkan observasi dan wawancara mendalam sudah ada perubahan pada balita. Perubahan pola makan yang sebagian besar dilakukan oleh balita khususnya pada jenis makanan sayuran, dan kebiasaan jajan yang sudah berkurang. Kegiataan penyuluhan yang dilakukkan petugas tentang gizi dan kesehatan sudah dilakukkan dengan alat bantu bahan makanan dan makanan yang disajikan. Menurut (Knight, 2013) melaporkan adanya kelompok masyarakta yang termotivasi perubahan pola makan lebih baik setelah mendapat pemberian informasi untuk meningkatkan kesadaran makanan lokal. Sejalan dengan penelitian(López-Gamiño et al., 2013) yang menyimpulkan bahwa ada perubahan perilaku setelah kelompok masyarakat mendapatkan pendidikan yang mempromosikan pola makan yang sehat dengan strategi yang tepat. Berdasarkan observasi dan wawancara mendalam diperoleh gambaran kebiasaan cuci tangan sudah dilakukan pada waktu kegiatan, setelah kegiatan. Penerapan kebiasaan cuci tangan terutama pada waktu sebelum dan sesudah makan dengan dibantu orang tua. Pemberian penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat khususnya tentang cuci tangan sudah dilakukan oleh petugas. Penyuluhan cuci tangan dilakukan dengan terori maupun praktek dan langsung diterapkan setiap ada kegiatan pertemuan. Menurut (Krianto, 2009), dalam studinya menyimpulkan bahwa intervensi promosi kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat meningkatkan pengetahuan dan perilaku khususnya cuci tangan. Sedangkan menurut (Umar, 2008) menyampaikan pentingnya cuci tangan dengan sabun dan air yang dapat menurunkan kejadian kecacingan.

Inggris

A. Discussion 1. Context Nutrition problems that occur in Indonesia are multiple nutrition problems, namely in one there is excess nutrition and on the other hand there is still a problem of malnutrition (Rachmi et al., 2018). The problem of malnutrition that still exists in society is toddlers with underweight and very underweight, besides stunting. One of the efforts undertaken by the Temon I Puskesmas I was the community nutrition improvement program for under-malnourished and undernourished children in the Temon I Puskesmas I which was made as an Innovative / excellent program. The community nutrition improvement program for under-malnourished and malnourished children at the Temon I Puskesmas UPTD is based on studies, the magnitude of the problem analysis is the cause of the problem and the needs of the community. Based on the document search, the basis for the preparation of the program is contained in the report of the results of the study program, a plan for the implementation of activities, plans for implementing activities and terms of reference for activities. According to (Ministry of Health, 2017) basic health center management guidelines for compilation are appropriate. Based on the evaluation results of the context of improving community nutrition in malnourished and under-fives in the Temon I Puskesmas UPTD, the problems underlying the implementation of the program are the problems that exist in under-malnourished and malnourished children. These problems include lack of knowledge of mothers, limited food ingredients, inappropriate parenting, accompanying diseases, economic and environmental factors.According to (Unicef ​​/ WHO / The World Bank, 2019) which affects the nutritional status of children under five (BB / U) are infectious diseases, especially diarrhea, problems with availability of drinking water and latrines, socioeconomic, number of family members. Meanwhile, according to (Sartika, 2007) factors that influence nutritional status are the utilization of health services, ARI, maternal occupation, and duration of breastfeeding for up to 2 years. Other studies have shown (Mazarina Devi, 2010) that maternal education level, birth spacing, birth weight, and history of chronic illness are factors in the occurrence of malnutrition in infants. The objective of the community nutrition improvement program for under-malnourished and under-malnourished children in the UPTD Puskesmas I Temon I in general and specifically has not yet been measured targets for assessing success. The strategy carried out by officers should be programmers set targets and indicators that must be achieved. If there are no measurable targets or indicators the implication is that the program holder will have difficulty judging the program is successful or not. According to (Dasmar et al., 2013), the successful use of puskesmas operational assistance funds at the output stage was assessed from the implementation of the program and the achievement of the program coverage compared to the target. One figure who is an expert in the field of evaluation and approach is Ralp W Tyler, who argues that evaluation is a process of determining whether goals have been realized or not.According to (Ruel-Bergeron et al., 2019) the monitoring and evaluation system is the key to the success of a program implementation. 2. Input The source of funding for the community nutrition improvement program for under-malnourished and under-malnourished children at the Puskesmas Ion UPTD comes from the Health Operational Assistance (BOK) puskesmas. The use of BOK funds refers to the Regulation of the Minister of Health Number 89 Year 2019 concerning Technical Guidelines for the Use of Non-Physical Special Allocation Funds in the Health Sector. The amount and details of the funds are used for food supplies, staff transportation, cadre transportation, meeting consumption. The calculation of the amount of funds for the community nutrition improvement program for underweight and poor nutrition toddlers in the UPTD Puskesmas Temon is calculated according to the BOK standards and the target number. Allocation of funds includes the procurement of Rp. 10,000.00 of foodstuffs per toddler per day, the transport of officers Rp. 40,000.00 per activity, the transport of cadres Rp. 47,000.00 per activity. The benefits of the detailed funds and clear rules will provide convenience and speed to the health center staff in financial accountability because it is not so complicated. While the negative aspects of the funds that have been detailed and the binding rules are not being able to calculate and meet how much the costs are not yet available in the field.In reality there are no costs for gas / fuel purchases, costs for renting cooking utensils and food, soap and water costs, extension infrastructure, costs for records and reporting. The community nutrition improvement program for under-malnourished and malnourished children at the Puskesmas Temon I UPTD is to combine supplementary feeding methods and other activities. In the implementation of funds for the procurement of food is the highest cost. According to (Handayani et al., 2008) in research on supplementary feeding that funds are mostly used for food procurement. In the study (Suharyati, 2007) concluded that the cost effectiveness in an effort to control nutrition positive deviance method is better than the motive of supplementary feeding. To assess the effectiveness of programs related to funding, it is necessary to compare with the coverage of program products. The study (Dasmar et al., 2013) concluded that the need for an increase in the amount of funds in health operational assistance. An important allocation of funds other than for food is funding for cadre intensive. Cadre intensive funds are calculated based on the budget ceiling and the amount per person per day of activity. The purpose of this intensive giving is to give appreciation and improve the quality of cadre services.This attention will improve cadre performance in accordance with research (Wisnuwardani, W, 2012) which concludes that money incentives can improve cadre performance. Lack of BOK funding limitations affect the adequacy of funds for nutrition programs, including community nutrition improvement programs for under-malnourished and poor nutrition children. Inadequacy of these funds will affect the provision of food ingredients, the provision of supporting facilities, and the implementation of activities. The strategy to overcome the lack of funds is the need to increase community empowerment, increase cooperation across programs and sectors. Nutrition implementers in implementing community nutrition improvement programs for under-malnourished and poor nutrition children are assisted by programmers in UKM. The existing nutrition executive has a nutritional education background, namely D3 Nutrition, but the number is still lacking. According to the Regulation of the Minister of Health No. 75 of 2014 concerning Community Health Centers the adequacy standard for nutrition implementers in inpatient puskesmas is 2, or based on population. Nutrition executor strategy in anticipating the limitations of personnel is through coordination and involving other programs to help in accordance with their competencies. According to (Suresh et al., 2019) states that a nutritional intervention, especially in the poor will be successful if it involves multiple programs.The same thing was stated (Abitew et al., 2020) which states that to prevent acute malnutrition, it is necessary to integrate the program. According to (Sartika, 2007) to overcome nutrition problems in children under five years old, a policy that is focused on restoring growth and health status of children under five with a correlation between nutrition programs and other programs, such as environmental health and immunization. To meet long-term shortcomings the puskesmas head has proposed the procurement of nutrition implementers through BOK funds. Efforts made in the short term are by maximizing the potential of existing staff and team work in a program. Books and records have an important role in documenting community nutrition improvement programs for under-malnourished and under-malnourished children at the UPTD Puskesmas Temon I. Recording and reporting at the puskesmas level have been carried out based on the puskesmas management provisions, however there is a need to develop them more closely. While recording and reporting at the cadre level has not been done optimally. The recording has been done only to fulfill the record personally. To improve the program from the Puskemasmas it should help in recording and reporting at the cadre level. The obstacle of recording and reporting at the level of mothers of children under five is that there are no standard books and records for monitoring the situation of children under five.To anticipate mothers of toddlers and officers can maximize the MCH books owned by toddlers. Food supply is not optimal because of limited funds and has not been adjusted to the needs of the target. Cooked foodstuffs are planned to meet balanced nutrition that is to meet energy sources, sources of vegetable animal protein, sources of vitamins and minerals from fruits and vegetables. Whereas the food items brought home are based on the availability of funds, the ease of obtaining ingredients, and the selection of durable ingredients. The type and amount of food to be cooked and brought home is based on coordination between the cadres and the puskesmas nutrition officer. In contrast to (Atoloye and Durward, 2019) who reported an intervention model that succeeded in influencing targets in shop shopping motivation to provide groceries at home. The findings show that beneficiaries considered nutrition important when shopping for food so that adequate nutrition was far healthier. The intervention was carried out by increasing the perception of the importance of nutrition among participants when shopping for food The number of participants from toddlers is 10 children, 1 of whom has a congenital abnormality, namely a leaky heart that is of poor nutritional status. The special situation of other participants is that there are twin participants, both of whom have different nutritional status. Both of these conditions will affect the handling and ultimately also affect the final results of the program.Malnutrition children with complications actually have their own management procedures, for that toddlers should be intervened separately. According to (MOH, 2011), the management of malnutrition with complications of treatment is in the inpatient puskesmas or the Feeding Center (TFC). 3. Process The nutrition executive conducts a problem analysis, determines the priority of the problem and types of activities to be proposed in the form of narrative planning. This plan is gathered together with other programs in the form of a Proposed Activity Plan (RUK). For the implementation of activities, the nutrition officer plans to carry out activities in the form of a Terms of Reference (KAK). These processes and stages are in accordance with existing policies, to improve efficiency and effectiveness in planning to determine measurable goals and targets. In the implementation of the program by prioritizing work across programs and across sectors. In accordance with policies on tackling nutrition problems both sensitive and specific interventions (Izwardi, 2018). The socialization of the community nutrition improvement program for under-malnourished and poor under-five children at Temon I Public Health Center has an important role in the smooth running of activities to achieve the program's goals. According to observations and interviews with informants the socialization was carried out targeting SME programmers, Puskesmas employees, posyandu cadres, and under-five mothers.The socialization activities have been carried out, but not optimal, especially for cross-sector socialization to get support. Meanwhile according to (Barker et al., 2002) the importance of good and mature planning so that it can be accepted by all stakeholders. Socialization activities at the cadre level aim to improve the quality and ability of supporting staff so that the cadre understands their duties Counseling in the community nutrition improvement program for under-malnourished and under-malnourished children under the Community Health Center was carried out by health workers and cadres. Counseling materials, among others, balanced nutrition, 1000 HPK, washing hands. Media and methods used in counseling are food ingredients, hands washing practice. Based on the evaluation results showed changes in knowledge and behavior in terms of eating patterns and hand washing habits. According to (Karamanian et al., 2016) the implementation of nutrition education programs is very important in interventions. In nutrition education goal setting will increase the level of knowledge, self-efficacy and behavior in society. The importance of health nutrition education was also conveyed (Gelu et al., 2018) in his research which concluded that malnutrition is a public health problem that needs to be raised by medical awareness and children to improve their health behavior.4. Results Compared to before the activity there was an improvement in the nutritional status of malnutrition to a good number of 1 child, while the number of malnutrition remained 2 children. . From the table shows that 2 malnourished children under five have no change from before and after the program. There is a change in the status of malnutrition into good nutritional status, there are 1 toddler, while those who become malnourished are not. Toddler malnutrition that does not change to malnutrition, one of which is poor nutrition with complications. According to (Ministry of Health of the Republic of Indonesia, 2011) that the handling of malnourished children under five with complications already has handling procedures. The intervention model carried out at the UPTD Puskesmas Temon I was ineffective and inefficient for dealing with malnourished children under five with leaking heart complications. According to (Ministry of Health of the Republic of Indonesia, 2011) in the book "Technical Guidelines for the Management of Malnutrition Children" clarify the flow of handling malnutrition both with complications and without complications. The community nutrition improvement program for under-malnourished and under-malnourished children at Temon I Health Center can increase the knowledge of mothers of children under five. Increased knowledge can be obtained from counseling activities carried out by health workers and cadres. According to (Ayu, 2008) nutrition assistance increases the mother's nutritional knowledge, parenting patterns, and nutritional status of KEP infants in the 3 months after assistance.Research conducted by (Sethi et al., 2017) reports that nutrition counseling for toddlers, most of them know about nutrition in children, how to provide food and food variations, and maintain hygiene and health. Counseling conducted in the community nutrition improvement program for under-malnourished and poor under-five children at Puskesmas Temon I also results in improved diet. Eating patterns that change include children who previously did not want to eat rice, vegetables, are now given vegetables and eat fruit. Mother of toddlers have given more varied foods, and cook themselves. Toddler eating patterns based on observation and in-depth interviews there have been changes in toddlers. Changes in eating patterns are mostly done by toddlers, especially in the type of vegetable food, and snack habits that have been reduced. The education activities carried out by the officers on nutrition and health have been carried out with food aids and the food served. According to (Knight, 2013) reported that there are groups of people who are motivated to change eating patterns better after receiving information to increase awareness of local food. In line with research (López-Gamiño et al., 2013) which concluded that there is a change in behavior after a community group gets an education that promotes a healthy diet with the right strategy.Based on observations and in-depth interviews, it was found that the habit of washing hands was done at the time of the activity, after the activity. The application of hand washing habits, especially at the time before and after meals with the help of parents. Providing counseling about clean and healthy living behaviors, especially about hand washing has been done by officers. Hand washing counseling is carried out by theory and practice and is immediately implemented every time there is a meeting. According to (Krianto, 2009), in his study concluded that health promotion interventions about clean and healthy living behavior increase knowledge and behavior, especially hand washing. Meanwhile according to (Umar, 2008) conveyed the importance of washing hands with soap and water that can reduce the incidence of helminthiasis.

TerjemahanBahasa.com | Bagaimana cara menggunakan penerjemah teks bahasa Indonesia-Inggris?

Dianggap bahwa pengguna yang mengunjungi situs web ini telah menerima Ketentuan Layanan dan Kebijakan Privasi. Di situs web (terjemahaninggris.com), pengunjung mana pun dapat memiliki bagian seperti forum, buku tamu, tempat mereka dapat menulis. Kami tidak bertanggung jawab atas konten yang ditulis oleh pengunjung. Namun, jika Anda melihat sesuatu yang tidak pantas, beri tahu kami. Kami akan melakukan yang terbaik dan kami akan memperbaikinya. Jika Anda melihat sesuatu yang salah, hubungi kami di →"Kontak" dan kami akan memperbaikinya. Kami dapat menambahkan lebih banyak konten dan kamus, atau kami dapat mencabut layanan tertentu tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada pengunjung.


Kebijakan Privasi

Vendor pihak ketiga, termasuk Google, menggunakan cookie untuk menayangkan iklan berdasarkan kunjungan sebelumnya yang dilakukan pengguna ke situs web Anda atau situs web lain. Penggunaan cookie iklan oleh Google memungkinkan Google dan mitranya untuk menayangkan iklan kepada pengguna Anda berdasarkan kunjungan mereka ke situs Anda dan/atau situs lain di Internet. Pengguna dapat menyisih dari iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi Setelan Iklan. (Atau, Anda dapat mengarahkan pengguna untuk menyisih dari penggunaan cookie vendor pihak ketiga untuk iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi www.aboutads.info.)